Oleh: Ahmad Rifai Zen, MA
Namanya Muhammad bin Zuhri, biasa dipanggil Muhammad Zuhri. Tidak terlalu terkenal seperti Saifudin Zuhri yang belum lama ini digerebek tim Densus 88 memang. Tapi di kalangan para aktivis masjid, nama putra kelahiran Pati ini sangat populer. Aktivis Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) malah mengakuinya sebagai “Kiai Haji”.
Namanya Muhammad bin Zuhri, biasa dipanggil Muhammad Zuhri. Tidak terlalu terkenal seperti Saifudin Zuhri yang belum lama ini digerebek tim Densus 88 memang. Tapi di kalangan para aktivis masjid, nama putra kelahiran Pati ini sangat populer. Aktivis Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) malah mengakuinya sebagai “Kiai Haji”.
Bukan terlalu berlebihan jika tokoh yang
satu ini disebut kiai. Selain budayawan terkenal Emha Ainun Najib
pernah tercatat sebagai salah seorang “santrinya”, nama tokoh ini juga
tercatat sebagai salah satu pemrakarsa berdirinya Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI). Begitulah label yang penulis sendiri dengar
ketika beliau memberikan ceramah di kediaman bos Mc Donald Indonesia,
Ir. Bambang Rahmadi.
Penulis tidak begitu mengerti kenapa
sosok low profile ini sangat tahu banyak pelajaran filsafat yang sering
kali membuat kepala banyak orang pusing tujuh keliling. Masa mudanya dia
jalani sebagai guru agama, tetapi ternyata jiwa senimannya lebih
dominan, hingga ketika ia sudah menjalani hidup berrumah tangga, pria
yang biasa disapa Pak Muh ini meimilih hidup di Jakarta sebagai seorang
pelukis.
Tetapi dari profesi inilah titik tolak
perjalanan spiritualnya justru dimulai. Di kota seribu impian ini Haji
altruis tidak menjalani kehidupan secara mulus. Dengan mengandalkan
pekerjaan sebagai pelukis, pendapatan pria berkaca mata ini kurang cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya di kampung. Walhasil istri
dan anak-anak sering kali hidup terlantar.
Dalam kondisi seperti ini tiba-tiba
datang seorang nenek tua yang menawarkan jasa kepadanya. Di tengah
kehidupan Jakarta yang serba komersil, sang nenek datang bak dewa
penolong. Si nenek menawarkan sebuah rumah layak untuk ditempati gratis
oleh pria kalern ini. Tentu saja sang Kiai tidak menolaknya, melihat
ketulusan si nenek.
Setelah cukup lama tokoh yang selalu
memakai kopyah ini menempati rumah cantik itu, beliau mulai mencium
gelagat kurang beres dari si nenek. Usut punya usut, si nenek i ternyata
penganut ilmu hitam yang telah beberapa kali berhasil menjebak beberapa
pria serupa Pak Muh untuk dijadikan tumbal ilmu setan nenek reot ini.
Sekarang giliran pak Muh. Mengetahui hal ini sang altruis yang saat itu
masih polos tidak bisa melakukan apa-apa. Nasibnya kini benar-benar
bagai telur di ujung tanduk. Dia benar-benar dalam posisi terjepit tak
berdaya sama sekali.
Dalam kondisi inilah nampaknya Allah
menunjukkan kuasanya. Pria yang masih polos ini hanya pasrah total,
pasrah menyerahkan nasibnya kepada Sang Pencipta makhluk. Ia menyadari
sepenuh hati bahwa dirinya hanya seorang mahluk yang tak berdaya.
Belakangan Ia baru tahu maqam seperti itu adalah maqam mutawakkilin,
derajat lebih tinggi dari tingkatan mu’minin dan muttaqin. Benar, dengan
kuasa ilahi, akhirnya ia selamat dari cengkeraman maut.
Penistiwa itu seolah benar-benar telah
merubah garis hidup “haji altruis” 180 derajat. Selain karena dia telah
cukup mempunyai latar belakang pengetahuan agama karena pernah menjadi
guru agama, sejak peristiwa itu ruang cakrawala spiritualitas haji
altruis seakan terbuka penuh (mukasyafah). Ini membuat kiai yang foto
auranya didominasi aura fositif ini ingin menjadi pengabdi Tuhan yang
benar-benar kaffah. Dengan cara menjadi pelayan seluruh hamba-hamba-Nya
di bumi, sang altruis ingin mengekspresikan dirinya benar-benar sebagai
khalifatullah fi al-ardh. Begitulah priinsip yang dipegangnya hingga
kini.
0 komentar:
Posting Komentar